Senin, 04 Mei 2009

Umbut Sawit Sebagai Pakan Alternatif Pada Ternak

Perkebunan kelapa sawit setiap 25 tahun akan melakukan peremajaan tanaman yang biasa dikenal dengan istilah “replanting”. Alasan lain untuk melakukan replanting adalah produksi tanaman yang sudah turun dan sulitnya pemanenan karena tanaman yang sudah terlalu tinggi yakni sekitar 17 meter.

Hasil replanting salah satunya adalah umbut sawit. Umbut sawit itu sendiri adalah ujung titik tumbuh batang kelapa sawit bertekstur lunak yang akan tumbuh menjadi pelepah dan daun kelapa sawit. Sampai saat ini, hasil replanting tanaman kelapa sawit berupa umbut sawit belum dimanfaatkan secara optimal. Pada saat replanting umbut sawit terbuang begitu saja dan tidak ada yang memanfaatkannya. Hal ini memberi peluang pada peternak untuk memanfaatkannya sebagai bahan pakan alternatif pengganti hijauan pakan ternak.

Pemanfaatan umbut sawit hasil replanting didukung dengan kondisi perkebunan kelapa sawit, dimana pada dekade ini, kelapa sawit di Indonesia memasuki babak baru yaitu sebagian besar memasuki generasi ke dua. Bahkan untuk Sumatera Utara dan sebagian Lampung rata-rata memasuki generasi ketiga atau keempat. Diperkirakan luas areal yang siap untuk di-replanting adalah 1,5 juta Ha sehingga asumsi kelapa sawit akan direplanting pertahun adalah 5% maka tiap tahun kebun sawit di-replanting sebanyak 75.000 Ha/tahun. Kebun kelapa sawit ini sebagian besar terdapat di Sumatera Utara.

Bila dilihat dari kandungan nutrisinya, umbut sawit sangat potensial karena mengandung berbagai zat nutrisi yang dibutuhkan ternak. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa umbut sawit mengandung: 12,65% Protein kasar, 20,72% Serat Kasar, 3,66% Lemak Kasar, 0.45% Ca, 1,21% P, 46% TDN dan Energi Metabolisme sebesar 2630,1 kkal/kg.

Tepung umbut kelapa sawit dapat diberikan langsung pada ternak ruminansia sebagai bahan pakan pengganti sumber serat. Tidak halnya dengan ternak non ruminansia (unggas), karena umbut sawit mengandung serat kasar yang tinggi. Agar dapat dimanfaatkan oleh ternak non ruminansia maka umbut sawit perlu diolah dahulu seperti difermentasi. Fermentasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan nilai gizi umbut sawit agar bisa digunakan untuk makanan ternak. Produk Fermentasi ini mempunyai kandungan protein kasar dan protein sejati yang lebih tinggi dari bahan asalnya. Di samping itu, produk fermentasi juga mengandung berbagai enzim. Aktivitas enzim pada produk fermentasi merupakan hal yang positif karena dapat membantu pencernaan pakan.

Berdasarkan hasil penelitian Harahap,A.S (2008), umbut sawit dapat diberikan dalam ransum Domba Jantan Persilangan Sei Putih sampai level 30%. Pemberian sampai level 30% dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi (632,36 gram/ekor/hari) dan pertambahan bobot badan (64,68 gram/ekor/hari) serta menghasilkan konversi ransum yang tidak berbeda nyata dengan ransum kontrol. Sedangkan Suryadi (2007), menyatakan umbut kelapa sawit fermentasi (aspergillus niger) dapat diberikan dalam ransum ayam broiler umur 0 - 8 minggu sampai level 20%.

Dengan demikian, umbut sawit merupakan salah satu solusi dalam pemecahan masalah kekurangan ataupun keterbatasan ketersedian hijauan pakan ternak disamping memanfaatkan limbah-limbah perkebunan dan pertanian lainnya sebagai pakan alternatif.

* Yunilas, Staf Pengajar Dep. Peternakan FP-USU Medan.

Umbut Sawit Sebagai Pakan Alternatif Pada Ternak

Perkebunan kelapa sawit setiap 25 tahun akan melakukan peremajaan tanaman yang biasa dikenal dengan istilah “replanting”. Alasan lain untuk melakukan replanting adalah produksi tanaman yang sudah turun dan sulitnya pemanenan karena tanaman yang sudah terlalu tinggi yakni sekitar 17 meter.

Hasil replanting salah satunya adalah umbut sawit. Umbut sawit itu sendiri adalah ujung titik tumbuh batang kelapa sawit bertekstur lunak yang akan tumbuh menjadi pelepah dan daun kelapa sawit. Sampai saat ini, hasil replanting tanaman kelapa sawit berupa umbut sawit belum dimanfaatkan secara optimal. Pada saat replanting umbut sawit terbuang begitu saja dan tidak ada yang memanfaatkannya. Hal ini memberi peluang pada peternak untuk memanfaatkannya sebagai bahan pakan alternatif pengganti hijauan pakan ternak.

Pemanfaatan umbut sawit hasil replanting didukung dengan kondisi perkebunan kelapa sawit, dimana pada dekade ini, kelapa sawit di Indonesia memasuki babak baru yaitu sebagian besar memasuki generasi ke dua. Bahkan untuk Sumatera Utara dan sebagian Lampung rata-rata memasuki generasi ketiga atau keempat. Diperkirakan luas areal yang siap untuk di-replanting adalah 1,5 juta Ha sehingga asumsi kelapa sawit akan direplanting pertahun adalah 5% maka tiap tahun kebun sawit di-replanting sebanyak 75.000 Ha/tahun. Kebun kelapa sawit ini sebagian besar terdapat di Sumatera Utara.

Bila dilihat dari kandungan nutrisinya, umbut sawit sangat potensial karena mengandung berbagai zat nutrisi yang dibutuhkan ternak. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa umbut sawit mengandung: 12,65% Protein kasar, 20,72% Serat Kasar, 3,66 Lemak Kasar, 0.45% Ca, 1,21% P, 46% TDN dan Energi Metabolisme sebesar 2630,1 kkal/kg. Umbut kelapa sawit dapat diberikan pada ternak ruminansia sebagai bahan pakan pengganti sumber serat.

Umbut sawit dapat diberikan sebagai pakan alternatif sampai level 30% pada Domba Jantan Persilangan Sei Putih. Pemberian sampai level 30% dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi (632,36 gram/ekor/hari) dan pertambahan bobot badan (64,68 gram/ekor/hari) serta menghasilkan konversi ransum yang tidak berbeda nyata dengan ransum kontrol (tanpa umbut sawit), (Harahap, A.S, 2008). Sedangkan Suryadi (2007), menyatakan umbut kelapa sawit fermentasi (aspergillus niger) dapat diberikan dalam ransum ayam broiler umur 0 - 8 minggu sampai level 20%.

Dengan demikian, umbut sawit merupakan salah satu solusi dalam pemecahan masalah kekurangan ataupun keterbatasan ketersedian hijauan pakan ternak disamping memanfaatkan limbah-limbah perkebunan dan pertanian lainnya sebagai pakan alternatif.


* Yunilas, Staf Pengajar Dep. Peternakan FP-USU Medan.

Minggu, 01 Februari 2009

Potensi Limbah Bulu Ayam Sebagai Bahan Pakan Alternatif Sumber Protein Hewani Dalam Ransum Unggas

Pendahuluan
Masalah utama dalam peningkatan produksi ternak unggas adalah penyediaan pakan sumber protein hewani (tepung ikan) yang harganya relatif mahal. Untuk memenuhi kebutuhan tepung ikan Indonesia masih mengimport dari luar negeri karena produk dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan yang ada sehingga harganya sangat mahal dibanding bahan pakan lain. Untuk menekan biaya pakan dan mengefisiensikan pakan diusahakan memanfaatkan limbah pertanian ataupun peternakan.
Salah satu produk pengolahan hasil peternakan yang belum dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan pakan ternak adalah bulu ayam. Bulu ayam merupakan limbah peternakan yang dapat dijadikan sebagai bahan pakan alternatif pengganti sumber protein hewani dalam formulasi ransum ayam (unggas). Hal ini disebabkan karena bulu ayam memiliki kandungan protein cukup tinggi. Murtidjo (1995), protein kasar tepung bulu ayam mencapai 86,5% dan energi metabolis 3.047 kcal/kg. Demikian juga menurut Rasyaf (1993), bulu ayam mengandung protein kasar cukup tinggi, yakni 82 – 91 % , kadar protein jauh lebih tinggi dibanding tepung ikan.
Bila dlihat dari segi ketersediaannya, tepung bulu ayam sangat potensial dijadikan sebagai bahan pakan alternatif dalam ransum unggas. Ini didukung oleh jumlah pemotongan ayam yang terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga menyebabkan ketersediaan limbah bulu ayam terus meningkat. Demikian juga, bila ditinjau dari kandungan proteinnya maka bulu ayam cukup potensial dijadikan sebagai bahan pakan alternatif sumber protein hewani penganti tepung ikan karena mengandung protein cukup tinggi dan kaya akan asam amino esensial.
Namun sebagai bahan pakan alternatif, tepung bulu ayam tidak hanya dilihat dari segi ketersediaannya saja tetapi kandungan nutrisinya apakah mendukung untuk digunakan dalam formulasi ransum unggas secara luas. Sebagai bahan baku pakan ternak, bulu unggas jarang digunakan oleh pabrik pakan ternak unggas. Walaupun mengandung protein cukup tinggi dan kaya asam amino esensial, tepung bulu mempuyai faktor penghambat seperti kandungan keratin yang digolongkan kepada protein serat. Kandungan protein kasar yang tinggi dalam tepung bulu ayam tersebut tidak diikuti oleh nilai biologis yang tinggi. Hal ini menyebabkan nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik pada tepung bulu ayam rendah. Nilai kecernaan yang rendah pada tepung bulu ayam disebabkan oleh kandungan keratin. Keratin merupakan protein yang kaya akan asam amino bersulfur, sistin. Keratin sulit dicerna karena ikatan disulfida yang dibentuk diantara asam amino sistin menyebabkan protein ini sulit dicerna oleh ternak unggas, baik oleh mikroorganisme rumen maupun enzim proteolitik dalam saluran pencernaan pasca rumen pada ternak ruminansia.
Keratin dapat dipecah melalui reaksi kimia dan enzim, sehingga pada akhirnya dapat dicerna oleh tripsin dan pepsin di dalam saluran pencernaan. Sehingga bila tepung bulu ayam digunakan sebagai bahan pakan sumber protein, sebaiknya perlu diolah terlebih dahulu untuk meningkatkan kecernaannya. Nilai biologis tepung bulu ayam dapat ditingkatkan dengan berbagai pengolahan dan pemberian perlakuan yang benar.

Ada beberapa metode pengolahan untuk meningkatkan nilai nutrisi tepung bulu ayam:
1) Perlakuan Fisik Dengan Pengaturan Temperatur Dan Tekanan,
2) Secara Kimiawi Dengan Penambahan Asam Dan Basa (Naoh, Hcl),
3) Secara Enzimatis Dan Biologis Dengan Mikroorganisme,
4) Kombinasi ketiga metode tersebut.

Penggolahan Melalui Perlakuan Fisik dengan Pengaturan Temperatur dan Tekanan
Tepung bulu direbus dalam wajan tertutup dengan tekanan 3,2 atmosfer selama 45 menit dan dikembalikan pada tekanan normal selama periode tersebut. Setelah itu dikeringkan pada temperatur 600C dan digiling hingga halus. Hasil penggolahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis Asam-asam amino dan Nitrogen pada Tepung bulu Terolah (gr/16 nitrogen)*
Asam Amino Tepung bulu tanpa diolah Tepung Bulu dengan “Pemasakkan” Bertekanan
Lysine 2.22 2.08
Methionin 0.83 0.72
Cystine 9.02 6.29
Methionin+Cystine 9.85 7.01
Asam Aspartat 6.71 6.58
Threonine 5.21 4.84
Serine 12.52 11.81
Asam Glutamat 12.11 11.91
Glycine 7.92 7.54
Alanine 4.29 4.30
Valine 7.97 7.25
Isolucine 5.25 4.82
Leucine 8.40 8.05
Tyrosine 3.11 2.48
Phenylalanine 4.91 4.61
Histidine 0.80 0.72
Arginine 7.08 6.15
Tryptophan 0.86 0.73
Nitrogen, % B.K 15.43 15.38
Sumber: Pond dan Maner (1974)

Pengolahan Secara Kimiawi / Hidrolisis
Pengolahan secara kimiawi diolah dengan proses NaOH 6 % dan dikombinasikan dengan pemanasan tekanan memberikan nilai kecernaan 64,6 %. Lama pemanasan juga dapat meningkatkan kecernaan pepsin tepung bulu ayam hingga 62,9 %. Namun, pemanasan yang terlampau lama dapat merusak asam amino lisin, histidin dan sistin serta menyebabkan terjadinya reaksi kecoklatan (browning reaction). Kandungan nutrisi tepung bulu terolah tertera pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Tepung Bulu Terolah/ Terhidrolisa
Nutrisi Kandungan
Protein Kasar, % 85
Serat Kasar, % 0,3 – 1,5
Abu, % 3,0 – 3,5
Calsium, % 0,20 – 0,40
Phospor, % 0,20 – 0,65
Garam, % 0,20
Sumber: McDonald et al (1989) dan Pond and Manner (1974)

Tehnik pengolahan kombinasi antara perlakuan fisik dan kimia merupakan teknik pengolahan yang saat ini bayak dipakai oleh industri TBA. Sejauh ini penggunaan tepung bulu tidak lebih dari 4 % dari total formulasi ransum unggas tanpa membuat produktivitas unggas merosot. Namun penggunaan dengan level yang lebih tinggi sangat diharapkan agar diperoleh ransum yang lebih ekonomis. Semakin baik pengolahannya, maka akan semakin baik pula hasilnya. Untuk itu penelitian-penelitian lebih lanjut sangat diharapkan seperti penggolahan secara enzimatis melalui fermentasi tepung bulu ayam menggunakan berbagai sumber enzim proteolitik.

Kesimpulan
1.Tepung bulu ayam dapat dijadikan sebagai bahan pakan sumber protein hewani di dalam ransum pendamping tepung ikan.
2.Guna meningkatkan penggunaannya perlu penelitian berkaitan dengan pengolahan-penggolahan secara enzimatis dengan memanfaatkan berbagai sumber bakteri proteolitik.
3.Pemanfaatan lebih luas merupakan salah satu strategi dalam mengatasi pencemaran lingkungan yang disebabkan produksi limbah bulu ayam yang terus meningkat.


Sumber Pustaka

Murtidjo, B.A. 1995. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Pond,W.G and J.H. Manner. 1974. Swine Production in Temperate and Tropical Environments. W.H. Freman and Company. San Fransisco.
Rasyaf, M, 1993. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.


yunilas, FP USU Medan